Thursday, February 28, 2008

Going home!

Keesokan harinya setelah pelaksanaan Cap Go Meh, kami berpisah di salah satu hotel di Singkawang. Teman-teman berangkat ke Pontianak melanjutkan agenda mereka menemui tokoh dan berbagai pihak di sana.

Saya memutuskan untuk nggak ikutan, karena sedari awal memang berniat untuk mengunjungi dua tempat dalam kepulangan kali ini. Dalam perjalanan ke rumah setelah dijemput oleh adikku di hotel, saya memintanya untuk singgah di tempat pertama yang ingin saya kunjungi itu. Sempat nyasar sesaat tapi syukur masih tetap bisa sampai di tempat tujuan.

Setelah kunjungan pertama, saya mengutarakan niat kunjungan kedua kepada Ibuku. Dan ternyata beliau menanggapinya dengan ikut serta dalam perjalanan itu. Kami pun berangkat ke tempat tujuan tersebut yang mesti ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam dari Singkawang.

Kami langsung menuju ke lokasi begitu sampai di Bengkayang, menyusuri jalan yang sepi dan menapaki tanjakan curam tanpa aspal. Turun berjalan kaki ke lokasi yang hening itu, terkadang terasa angin sepoi menyertai. Kami tidak banyak bicara di sana, yang kulihat mata Ibuku basah bergelinang air mata.

Tak berapa lama kemudian kami pun beranjak dari sana, menuju ke tempat keluarga di Bengkayang. Setelah singgah bertemu dengan Pho-pho, kami pun menuju ke rumah. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan Audrey dan Cathy, yang kabarnya sudah pintar ngomong sekarang.



Mereka sedang bermain boneka di depan teras, setelah bincang-bincang ala dunia mereka, saya mengeluarkan kamera dan mengajak Audrey dan Cathy tuk berpose ria.



Si Audrey yang sedang bermain boneka, menyodorkan pakaian-pakaian si boneka tuk dipasang.


Si Cathy setelah diliat-liat, hm.... tampaknya emang lebih cocok tuk berpose macho kaya orang mau berantem. he..he..he..

Setelah itu Audrey dan Cathy menarik-narik tanganku mengajak bermain yang lain. Sampai di belakang rumah, Audrey memakai sendalnya dan diikuti Cathy. Ternyata mereka ingin bermain sepeda.

Audrey mengayuh sepedanya ke sana sini.


Dan Cathy ngebut dengan mobil-mobilannya.


Ketika sedang jongkok di halaman, sempat si Audrey ngumpet di belakangku, yang iseng sempat kujepret tanpa liat kamera.

Tak terasa sore pun tiba dan kami pun meninggalkan mereka, beranjak pulang ke rumah. Keesokan harinya daku berangkat ke Jakarta, melanjutkan berbagai rutinitas yang dijalani sehari-hari.

-rdt-

Wednesday, February 27, 2008

Hari-H Cap Go Meh.
Pagi-pagi sebelum pukul enam, terdengar pengumuman yang diumumkan oleh mobil keliling di jalan yang mengabarkan bahwa sejumlah jalan utama akan ditutup pada puncak perayaan Cap Go Meh di tanggal 21 Februari 2008 itu.

Setelah berkumpul dan mempersiapkan diri, kami pun turun ke jalan menerobos keramaian massa yang teramat sangat padat untuk menyaksikan para tatung yang sedang mengadakan ritual. Dalam kondisi ini, masing-masing dari kami diingatkan untuk waspada dari ulah para copet.


Menelusuri jalan utama yang penuh sesak oleh penonton dan para tatung saat itu memang membutuhkan sedikit perjuangan. Agar bisa berjalan dengan lebih cepat dan tanpa hambatan yang banyak, kami pun sesekali menyusup ke dalam iringan rombongan tatung yang sedang berpindah tempat.

Gendang, simbal dan lainnya yang dibunyikan bersamaan menimbulkan suara yang nyaring sekali bagai speaker raksasa yang sedang bergema di tengah lapangan.


Sesekali kami lirik ke kiri dan ke kanan, terkadang berhenti untuk jepret-jepret. Banyak pemandangan yang terkadang susah diungkapkan dengan kata-kata. Tampak para Tatung tampil dengan berbagai kostum tersendiri yang khas.


Tampak juga tatung yang menjalankan berbagai ritual tersendiri, bahkan dengan beraneka ragam "piercing". Ini pertama kalinya bagi saya melihat "piercing" ala gantung kaleng seperti itu.


Ketika menerobos ke pusat lelang, tampak seorang adik kecil yang juga tatung.


Dan di dekat altar yang didirikan di tenda lelang, tampak sekelompok tatung yang "piercing" dengan batang pohon dan sedang menari sambil menghirup asap kemenyan.

Keramaian tersebut berlangsung sampai sore, di mana massa berangsur-angsur membubarkan diri. Ada berbagai pemandangan yang kami temui di sana,terutama ekspresi dengan berbagai makna yang terpendam.

-rdt-

Tuesday, February 26, 2008

Wayang Gantung (Chiao Theu).
20 Februari 2008, setelah makan malam bersama di rumah, kita pun berjalan kaki ke salah satu panggung yang didirikan untuk malam pentas budaya menyambut Cap Go Meh. Ada beberapa panggung dengan beragam acara yang digelar di malam itu, dan lokasi yang kita datangi ini akan menggelar pertunjukan "Wayang Gantung" alias "Chiao theu".

Pertunjukkan wayang gantung ini pernah saya tonton langsung dulu ketika masih kecil di Bengkayang. Setelah itu saya tidak pernah menonton langsung lagi dan belakangan baru bisa nonton kembali lewat rekaman video.



Pertunjukkan ini dibawakan dalam bahasa Hakka, yang kerap menyisipkan adegan kocak yang mengocol perut. Saya teringat akan adegan pembukaan yang khas dan kocak dari pertunjukkan ini ketika menonton rekaman video beberapa waktu lalu.


Ketika sampai di lokasi itu saya mendengar suara dari seorang bapak yang mirip dengan suara dalam rekaman. Lalu saya mendekati beliau dan bertanya apakah benar beliau itu yang biasa memerankan "Lo Ai" yang sering muncul mengocol perut di awal pertunjukkan . Beliau menjawab benar, dan seketika itu beliau pun melantunkan kata-kata pembuka yang sudah dihafal luar kepala itu. Kami tertawa sejenak, dan akhirnya berbincang-bincang seputar perjalanan hidup beliau selama berkecimpung dalam dunia Chiao Theu (Wayang Gantung) ini.

Dari perbincangan bersamanya dan rekan-rekan, ada sebuah kesan yang cukup memprihatinkan. Terutama ketika beliau sebagai dalang wayang gantung serta rekannya mengutarakan kesiapan diri mereka untuk menghadapi kepunahan karena kehampaan regenerasi. Sin Thian Chai, nama grup wayang mereka merupakan satu-satunya yang tersisa di Singkawang saat ini. Konon dulu sekitar 30 tahunan yang lalu pernah ada 3 grup wayang di sana. Namun seiring perjalanan waktu, pergolakan politik serta terbatasnya usia manusia kini yang tersisa hanya grup ini.

Tak berapa lama kemudian salah satu teman peneliti meminta saya untuk menemaninya melakukan wawancara kepada salah satu dalang wanita di sana. Kami pun mendekati Ibu tersebut, dan menanyakan tentang ritual persiapan yang biasanya diadakan sebelum acara. Ibu tersebut menuturkan bahwa untuk sebuah pertunjukkan yang benar dan lengkap mereka biasanya menggelar berbagai ritual, seperti sembahyang kepada dewa, ritual cuci panggung dan lain sebagainya. Namun untuk pertunjukkan malam itu nggak semua ritual itu dapat terlaksana, karena waktu pertunjukkan yang sangat terbatas.

Sesekali dalam pembicaraan itu si Ibu memanggil suaminya yang juga dalang untuk membantu memberikan penjelasan. Ternyata mereka ini dua sejoli yang telah sekian lama berkiprah dalam dunia wayang gantung tersebut. "Opera pun pernah saya perankan waktu dulu itu", ungkap si Ibu. Dia pun menuturkan kalau suaminya itu biasanya sering membuat naga, dan replika rumah (Lin Buk) yang sering dibakar dalam upacara pemakaman.



Tak berapa lama kemudian hujan mengguyur sebelum dekorasi panggung rampung dibenahi. Ketika hujan reda, pertunjukkan pun dimulai.Yang diakhiri dengan tarian barongsai ala chiao theu. Ini merupakan pertunjukkan wayang gantung, yang sekilas tampak bagai hiburan biasa, namun ternyata dibalik pertunjukkan ini menyimpan makna dan tujuan yang mendalam.

-rdt-

Monday, February 25, 2008

Cap Go Meh 2008!

Sejak beberapa hari lalu meninggalkan Jakarta. Bersama teman-teman peneliti dari Singapore dan Bogor, mendatangi Singkawang (Kalimantan Barat) yang kerap dijuluki kota seribu kuil. Ada berbagai ketertarikan yang membuat teman-teman tersebut mendatangi Singkawang dalam perayaan Cap Go Meh ini.

Mengarungi waktu bersama mereka, bertualang sedikit di kampung halaman sendiri. Banyak kesan yang timbul, terutama pelajaran hidup yang dapat dipetik dalam memperkaya sudut pandang untuk menyikapi sesuatu.

Yang pasti saya percaya, bahwa manusia itu kecil, bahkan sangat kecil di belantara alam semesta.



Pada puncak perayaan Cap Go Meh, Singkawang begitu ramai. Beberapa foto tentang Cap Go Meh di Singkawang bisa dilihat di http://hakka-singbebas.blogspot.com

-rdt-


Sunday, February 03, 2008

Pertarungan!

Ketika kelabu menyelimuti hari, hujan bertubi-tubi menghampiri.
Ibukota pun panik, tanpa secerca harapan antisipasi yang memadai.
Basah di mana-mana, gerah menerpa di bawah guyuran hujan.
Hanya nyali yang tersisa untuk mengarungi hari.

Sejak beberapa minggu yang lalu, rencana pertarungan ini telah didengungkan. Namun ketika banjir menerpa, timbul berbagai keraguan akan realisasi. Beberapa dari pasukan mengundurkan diri lantaran terjebak banjir. Dengan hati-hati kita pun mengamati hari, berharap penuh akan terwujudnya janji.

Ketika pagi tiba, masing-masing pun menempuh jarak dengan cara tersendiri. Di tengah perjalanan, sebuah SMS dari si komandan yang menuturkan bahwa sepanjang perjalanan ke medan pertarungan aman dari banjir. Tak lama kemudian kita pun sampai di titik temu yang kita sepakati. Setelah peserta lengkap, kita pun berangkat.




Pertarungan pun dimulai yang akhirnya menyisakan berbagai kisah. Ada yang terkena headshot, ada juga yang cipratan peluru cat masuk ke mulut “cuih....pahit” tuturnya. Gelak tawa mengiringi pembahasan satu sama lain di akhir sesi.




Setelah pertempuran usai, para pasukan pun tetap beraksi.




Bahkan helicopter rongsokan pun tak luput dikerubungi.


-rdt-