Kita semua tahu batu.
Unsur alam yang selalu identik dengan nuansa keras.
Dari tingkat rapuh sampai cadas.
Kita mengenal mereka dengan berbagai sebutan.
"Aku rapuh tanpa tanda jasa untuk benakmu".
Seakan-akan kalimat ini terlontarkan dari kapur tulis yang membisu.
Sekian tahun aku duduk di bangku sekolah, sekian banyak batang kapur yang mudah dipatahkan itu harus berubah menjadi debu dalam sebuah misi membangun masa depan generasi penerus.
"Aku ini keras, sangat keras dan kau pun tidak tahu apa gunaku!".
Demikian juga suara ini seakan berbisik dari sekumpulan batu.
Mereka yang bersama-sama dituangkan ke dalam liang fondasi, dan sering juga bersama pasir dan semen untuk berkolaborasi menjadi lantai.
Bersatu dengan kuat menjadi pijakan tanpa harus disadari kehadiran wujudnya.
DAN BENTURKANLAH DUA BUAH BATU DENGAN KERAS !!
Aku yakin akan adanya serpihan yang lepas dari keutuhan wujudnya yang sempurna.
Mungkin itu jalan yang ditempuh untuk mengubah wujudnya.
Namun akankah wujud impian kan tercipta tanpa rencana apa-apa?
Teteskanlah butiran air kecil pada batu yang terkeras.
Bukan hanya sesekali, tapi teruslah teteskan dengan sabar.
Akan terasa lama bukan, hanya untuk membekaskan sebuah lubang tipis pun tidak singkat. Seandainya ingin kuukir sebuah senyuman pada sang batu, mustahilkah?
Dalam sebuah hembusan, kita akan teringat pada angin.
Tiupan sepoi terasa begitu nyaman untuk menemani diri.
Pohon kan melambai, dan rumput kan bergoyang menyambut datangnya angin.
Kala pohon-pohon tunggal tumbang oleh terjangannya.
Sanggupkah diri kukuh bertahan diterpa tornado?
Bagaimanakah nasib kawanan rumput yang tumbuh bersama?
Aku bukan batu,bukan angin, bukan juga pohon maupun rumput.
Mereka hanyalah sekumpulan bisu yang tak mampu bicara.
Tapi undang-undang nomor berapakah? yang melarangku bergaul dengan mereka?
Monday, March 14, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)