Friday, December 07, 2007

Hiu

Sejenak memandang ikan hiu.
Terbersit akan kata sadis.
Yang ganas mengejar amis.
Menelan lahap, tanpa pandang bulu.



Tampak mereka sedang ke sana sini.
Di antara bintang laut , mereka berenang.





Ketika sepasang kaki mendekati.
Mereka malah lari menjauhi.

Konon mereka hidup dalam penangkaran.
Diberi umpan ikan pun mereka tak menyambar.
Entah karena kenyang atau malah tenang.
Yang tak punya alasan untuk berburu mangsa.

Entah bagaimana nasib mereka kelak nanti.
Akankah tangguh alami laksana hiu asli?


-rdt-


Sunday, December 02, 2007

Melangkah di kota tua.
Mengintip sebuah nuansa.
Akan sudut kota yang pernah jaya.
Menyimpan kisah seiring masa.


Kucing belang, kucing hitam.
Bertengger bersama di atas puing.
Di balik gedung yang kini museum.
Ternyata dulu pengadilan si asing.


Derap langkah si hitam putih.
Menyusur tenang tanpa suara.
Tampak bola-bola besi tersusun rapi.
Dalam ruangan yang dulu penjara.

Entah siapa yang pernah ditawan.
Entah juga apa dosa mereka.
Apa mereka si hitam yang memang bersalah?
Atau malah si putih yang sengaja disalahkan?

Dalam masa yang belum merdeka.
Hak yang terkekang tuk bicara.
Di kala benar salah adalah salah.
Salah penjara hal yang lumrah.

Berdayakah mereka saat itu?
Sanggupkah mereka untuk berkata?
Kata orang, itu ulah penjajah.
Semua itu kini hanya sejarah.

Konon zaman telah berubah.
Kini bebas di alam merdeka.
Namun, apa kini benar salah adalah beda?
Atau malah harta yang menjadi raja?

-rdt-

Thursday, November 29, 2007



Menatap sebuah potret bayangan
Teringat akan sebuah kenangan

Ketika itu liburan sekolah tiba.
Saat yang dinanti tuk melangkah.

Bercelana pendek dan bersendal jepit.
Ditemani oleh Ibu, aku sampai di terminal
Melirik sana sini mencari tumpangan.
Mencari jurusan Bengkayang arah tujuan.

Aku dilepas Ibu ketika itu.
Memulai perjalanan tuk berangkat sendiri.
Dalam sekejap bis pun beranjak .
Dan aku duduk terjepit, oleh penumpang dewasa.

Terkenang setiap saat tiba di sana.
Aku diberikan sebuah kunci sepeda.
Sepeda hitam dengan sebuah keranjang.
Sebuah kendaraan tuk memulai liburan.

Banyak kenangan tak terlupakan di sana.
Bahkan kenakalan yang kini mengundang senyuman.
Di sana aku belajar bersepeda dan berenang.
Sampai bisa lepas tangan dan mengarungi jeram.

Ada "dia" yang ketika itu memberikan tuntunan.
Memboncengi aku dan sepupuku yang kala itu masih bocah.
Namun belum sempat aku mengucapkan beberapa kata padanya.
Dia telah pergi untuk selama-lamanya.

-rdt-

Wednesday, November 28, 2007


"Kapankah dirimu kembali?"


Secuil senyum kecil merekah, ketika membaca pertanyaan itu dari seorang teman seperjuangan.

"Sabarlah temanku", ketikan singkat inilah yang saat itu terkirim padanya.

Lantas dia bertanya "Kenapa?"
Kembali aku tersenyum memandang pertanyaan yang singkat namun mendalam ini.

"Tak semua hal dapat kuungkapkan dengan kata-kata", demikian aku menjawabnya.

Dan kujanjikan satu hal padanya, bahwa sampai pada saatnya nanti pasti dia akan mengerti sendiri "kapan" dan "kenapa".

Dalam sebuah perjalanan masa
Ingin aku mengecap rasa
Menghirup aroma alam yang menggelora
Bagai kelana yang mengembara


Mendaki ke puncak gunung


Menyusuri dasar pantai


Mengarungi perut bumi



Membuka mata akan kebesaran-Nya


Menatap kejernihan yang penuh makna


Yang sampai pada saatku nanti, tak sedikit pun aku kan menyesal.

Ketika mata terpejam, terasa aliran nafas halus.
Menyelimuti diri untuk memahami, bahwa

"Hidup itu, tak hanya sekedar bicara"



-rdt-