Sunday, October 21, 2012

Di ujung Nusantara.

Lampu sabuk pengaman berulang kali menyala mengiringi perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam. Sesekali terasa getaran walaupun cuaca cerah, namun penumpang tetap tenang. Beberapa orang tampak menyantap bekal yang telah disiapkan untuk terbang dengan maskapai tanpa pembagian konsumsi ini. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan, selain tidur atau membaca majalah maskapai tersebut. Artikel tentang ritual unik pembersihan jenazah di Toraja, cukup menarik untuk ditelusuri. Walaupun setelah membaca dilanjutkan dengan ritual memejamkan mata, alias tidur. Dan akhirnya pesawat pun mendarat dengan mulus di bandara.

Perasaan takjub timbul ketika turun dari pesawat melihat pemandangan deretan gunung di sekeliling bandara. Suasana di bandara agak sepi dibandingkan dengan yang di kota lain, walaupun bergelar bandara internasional. Perjalanan di hari itu pun berlanjut yang akhirnya diketahui bahwa deretan gunung nan indah mempesona di sepanjang perjalanan itu adalah Bukit Barisan.

Dalam perjalanan keesokan harinya, diberitahukan bahwa akan menuju tempat di balik salah satu gunung yang terlihat dari pandangan mata. Gunung Seulawah namanya, di mana pada kelok zig-zag tanjakan gunung tampak mobil yang berhenti di pinggir jalan di pagi itu. "Mau lihat monyet kawin kali" kata teman di samping, yang saya pikir hanya guyonan saja. Namun ketika dalam perjalanan pulang di sore hari melewati tempat yang sama, banyak sekali monyet-monyet di pinggir jalan. Ternyata sudah menjadi kebiasaan kalau monyet-monyet turun ke pinggir jalan untuk menunggu makanan yang diberikan oleh mobil-mobil yang lalu lalang di tengah gunung itu. "Biasanya saya beliin pisang untuk dibagi, buat buang stress, haha.." kata teman yang lain. 

Pada hari terakhir setelah mengurus check-in tiket terlebih dahulu di bandara, sempat diajak untuk melihat kapal PLTD yang terdampar ke pemukiman akibat bencana di tahun 2004. Areal sekeliling kapal telah dibangun pagar, dan tempat ini dinamakan Taman Edukasi Tsunami.



Kepiluan masih terasa, walaupun bencana di Aceh ini telah berlalu delapan tahun. Tak lama kemudian kembali menuju bandara untuk mengejar penerbangan. Penerbangan yang memakan waktu hampir tiga jam kembali, yang tentu saja ideal untuk tidur atau tenggelam dalam dengan renungan kebesaran alam dan kecilnya manusia.