Tuesday, February 26, 2008

Wayang Gantung (Chiao Theu).
20 Februari 2008, setelah makan malam bersama di rumah, kita pun berjalan kaki ke salah satu panggung yang didirikan untuk malam pentas budaya menyambut Cap Go Meh. Ada beberapa panggung dengan beragam acara yang digelar di malam itu, dan lokasi yang kita datangi ini akan menggelar pertunjukan "Wayang Gantung" alias "Chiao theu".

Pertunjukkan wayang gantung ini pernah saya tonton langsung dulu ketika masih kecil di Bengkayang. Setelah itu saya tidak pernah menonton langsung lagi dan belakangan baru bisa nonton kembali lewat rekaman video.



Pertunjukkan ini dibawakan dalam bahasa Hakka, yang kerap menyisipkan adegan kocak yang mengocol perut. Saya teringat akan adegan pembukaan yang khas dan kocak dari pertunjukkan ini ketika menonton rekaman video beberapa waktu lalu.


Ketika sampai di lokasi itu saya mendengar suara dari seorang bapak yang mirip dengan suara dalam rekaman. Lalu saya mendekati beliau dan bertanya apakah benar beliau itu yang biasa memerankan "Lo Ai" yang sering muncul mengocol perut di awal pertunjukkan . Beliau menjawab benar, dan seketika itu beliau pun melantunkan kata-kata pembuka yang sudah dihafal luar kepala itu. Kami tertawa sejenak, dan akhirnya berbincang-bincang seputar perjalanan hidup beliau selama berkecimpung dalam dunia Chiao Theu (Wayang Gantung) ini.

Dari perbincangan bersamanya dan rekan-rekan, ada sebuah kesan yang cukup memprihatinkan. Terutama ketika beliau sebagai dalang wayang gantung serta rekannya mengutarakan kesiapan diri mereka untuk menghadapi kepunahan karena kehampaan regenerasi. Sin Thian Chai, nama grup wayang mereka merupakan satu-satunya yang tersisa di Singkawang saat ini. Konon dulu sekitar 30 tahunan yang lalu pernah ada 3 grup wayang di sana. Namun seiring perjalanan waktu, pergolakan politik serta terbatasnya usia manusia kini yang tersisa hanya grup ini.

Tak berapa lama kemudian salah satu teman peneliti meminta saya untuk menemaninya melakukan wawancara kepada salah satu dalang wanita di sana. Kami pun mendekati Ibu tersebut, dan menanyakan tentang ritual persiapan yang biasanya diadakan sebelum acara. Ibu tersebut menuturkan bahwa untuk sebuah pertunjukkan yang benar dan lengkap mereka biasanya menggelar berbagai ritual, seperti sembahyang kepada dewa, ritual cuci panggung dan lain sebagainya. Namun untuk pertunjukkan malam itu nggak semua ritual itu dapat terlaksana, karena waktu pertunjukkan yang sangat terbatas.

Sesekali dalam pembicaraan itu si Ibu memanggil suaminya yang juga dalang untuk membantu memberikan penjelasan. Ternyata mereka ini dua sejoli yang telah sekian lama berkiprah dalam dunia wayang gantung tersebut. "Opera pun pernah saya perankan waktu dulu itu", ungkap si Ibu. Dia pun menuturkan kalau suaminya itu biasanya sering membuat naga, dan replika rumah (Lin Buk) yang sering dibakar dalam upacara pemakaman.



Tak berapa lama kemudian hujan mengguyur sebelum dekorasi panggung rampung dibenahi. Ketika hujan reda, pertunjukkan pun dimulai.Yang diakhiri dengan tarian barongsai ala chiao theu. Ini merupakan pertunjukkan wayang gantung, yang sekilas tampak bagai hiburan biasa, namun ternyata dibalik pertunjukkan ini menyimpan makna dan tujuan yang mendalam.

-rdt-

2 comments:

Anonymous said...

keren2..
Moga2 seiring bergulirnya waktu, chiau theu ini makin diminati.
semoga semakin banyak yang peduli sehingga tidak terjepit oleh teknologi & akhirnya "mati"

Anonymous said...

Inti permasalahan mereka terletak pada regenerasinya. Setelah ngobrol2 dengan mereka, baru diketahui kalau mereka pun punya konsep tersendiri yang pernah diajukan. Namun tampaknya kurang mendapat perhatian dan tanggapan dari pihak yang terkait.

Oleh karena itu ya... mereka pun bersiap untuk punah, yang mana kiprah mereka akan dihentikan oleh usia.

Tar kapan2 kalau Aldy sempat menonton pertunjukkannya coba aja ajak ngobrol mereka :)